Selasa, 26 Maret 2013

Pengaruh alih fungsi lahan terhadap sumber daya air di bali



                          I.            PENDAHULUAN
1.1.         Latar Belakang
               Di berbagai belahan dunia yang kaya akan sumber daya alam, alih fungsi lahan sering kali berujung pada kerusakan ekosistem yang begitu cepat. Salah satu dampak kerusakan ekosistem tersebut adalah munculnya krisis sumber daya air. Air adalah sumber daya yang sangat menentukan dan menyeimbangkan”metabolisme” social dan lingkungan.Pertumbuhan penduduk, ekonomi maupun industry telah menyebabkan peningkatan kebutuhan terhadap pemukiman dan kawasan industrial ini mengakibatkan terjadinya perubahan alih fungsi lahan, dalam hal ini hutan oleh masyarakat atau penduduk.
Penduduk adalah salah satu komponen yang mempengaruhi perkembangan suatu kota. Banyak kota yang berkembang secara tidak terkendali, sehingga menyebabkan degradasi lingkungan. Di antaranya penyebab erosi lingkungan adalah terjadinya invansi penggunaan tanah untuk pembangunan kawasan baru dan peningkatan infrastruktur pada wilayah-wilayah yang semestinya menjadi daerah preservasi alami untuk melestarikan sumberdaya air permukaan, air tanah, dan tanah. Perkembangan dan kemajuan kota diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan sebagai konsekuensinya perkembangan kegiatan ekonomi maupun sosial dari peningkatan penduduk. Beberapa hal yang menjadi daya pikat kota itu sendiri maupun di wilayah sekitarnya yaitu ketika daya dukung kota melampaui batas. Maka timbul berbagai macam permasalahan, di antaranya meningkatnya kebutuhan akan fasilitas infrastruktur. Akibatnya perubahan tata guna lahan berdampak negatif kepada kota sendiri terutama menurunnya tingkat kenyamanan akibat dari terbatasnya areal lahan terbuka yang ada. Secara lebih khususnya perubahan tersebut berdampak kepada banjir dan genangan yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
Peningkatan jumlah penduduk memberikan konsekuensi pula terhadap terjadinya kompetisi dalam pemanfaatan tata guna lahan pada suatu DAS, mengandung arti bahwa penduduk semakin banyak melakukan penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk berbagai pemanfaatan dan aktivitas serta melakukan konversi atau perubahan vegetasi. Menurut Soemarwoto (1978), menurun dan merosotnya kondisi suatu DAS pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: adanya tekanan penduduk, tekanan pembangunan, dan tekanan sosial ekonomi masyarakat dalam kawasan daerah aliran sungai (DAS).




                      II.        Tujuan
Tujuan utama di buatnya makalah ini adalah bertujuan untuk:
a.       Mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari peralihan fungsi
lahan terhadap Sumber Daya Air di Bali
b.      untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengelolaan Sumber Daya Air nya.

2.1.            Permasalahan
Bali merupakan pulau kecil yang saat ini tengah berada dalam ancaman perubahan iklim yang sebagian besar rakyatnya merupakan kelompok rentan terkena dampak, seperti petani, nelayan, maupun perajin.
Masif-nya eskploitasi lingkungan hidup dan sumber daya alam oleh industri pariwisata, menyebabkan semakin mendesak daya dukung Bali dan memarjinalkan akses masyarakat lokal terhadap sumber daya alamnya.
Bali saat ini mendapatkan pendapatan asli daerah-nya dari bea balik nama kendaraan bermotor. Hal ini merupakan hal yang tidak berkelanjutan di masa mendatang. Karena semakin banyak kendaraan yang masuk Bali tanpa ada kontrol dan melebihi daya dukung jalan di Bali maka akan menyebabkan kemacetan, pengamburan BBM, pencemaran dan semakin banyak alih fungsi lahan untuk dijadikan jalan-jalan alternatif ataupun bay-pass. 
Ditilik secara umum, kondisi lingkungan hidup di Bali cukup memprihatinkan. Dalam arti masih banyak yang perlu dibenahi dan mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan masyarakat. Bayangkan saja, Bali yang berpenduduk sekitar 3,5 juta jiwa ini sudah sangat padat penduduk bila dilihat dari kapasitas daya tampungnya.
Belum lagi akibat sampingan yang ditimbulkan kepadatan penduduk tersebut yaitu peralihan fungsi lahan. Setidaknya tercatat sekitar 1.000 ha tanah persawahan beralih fungsi setiap tahunnya. Besarnya volume alih fungsi lahan ini tentu saja sangat memprihatinkan karena perlahan-lahan Bali berubah menjadi pulau beton.
Tidak dapat dimungkiri alih fungsi lahan ini juga memicu semakin berkurangnya lahan hijau dan pori-pori perkotaan. Tercatat pula di data Dinas Kehutanan Propinsi Bali, kawasan hutan yang termasuk kategori kritis/rawan mencapai sekitar 18,39 ha dari luas kawasan hutan yang ada.
Sangat banyak persoalan lingkungan hidup yang mesti ditanggulangi pemerintah Bali khususnya dan seluruh stakeholder Bali umumnya. Bila didata, kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di Bali cukup membuat kita terkejut. Misalnya saja persoalan ketersediaan air bersih. Sumber daya air di Bali yang tidak merata menyebabkan beberapa daerah kesulitan memperoleh air bersih.
Selain itu sumber daya air tanah dan mata air yang tersedia pun sudah cukup banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan air domestik maupun nondomestik. Dilihat per kabupaten/kota, Denpasar dan Badung telah mengalami defisit air bila seluruh kebutuhan airnya hanya memanfaatkan air bawah tanah. Sementara itu di daerah pegunungan seperti di Kintamani, Bangli, masyarakatnya juga mengalami kekurangan air yang cukup parah sehingga tidak semua masyarakat memperoleh air bersih yang memadai.
Meski secara keseluruhan kondisi sumber air di Bali cukup memprihatinkan, ketika musim hujan tiba, beberapa daerah mengalami banjir. Rawan banjirnya daerah-daerah di Bali ini tidak lain disebabkan daerah aliran sungai (DAS) yang mengalami kerusakan. Dari hasil survai lapangan atas 162 buah sungai yang termasuk dalam wilayah DAS Bali, terdapat 28 sungai yang masuk kategori rawan banjir. Setidaknya total sekitar 34 sungai di Bali dinyatakan kritis karena adanya laju kerusakan DAS yang cukup memprihatinkan dari tahun ke tahun.
Walaupun telah ada sejumlah proyek untuk menangani masalah ini, tetap saja kerusakan DAS ini menjadi persoalan yang perlu penanganan serius dari berbagai pihak karena ancaman terhadap degradasi kualitas DAS ini lambat laun dapat mencapai tingkat yang semakin kritis.
Persoalan lanjutan yang timbul akibat buruknya kualitas DAS Bali ini adalah erosi. Tingkat erosi sedang sampai berat terjadi di beberapa daerah di Bali, terutama karena adanya penggunaan lahan tegalan dan kebun campuran, serta sedikit pada semak belukar dengan kelas kemiringan lereng 3-45 persen.
Tingkat erosi sedang sampai berat ini tersebar pada hampir semua kabupaten dan kota yang ada di Bali. Namun, yang paling banyak ada di daerah Tabanan, Bangli, Karangasem, dan Buleleng. Sementara itu, bila dilihat dari kondisi erosi yang sangat berat, daerah yang paling dominan adalah di wilayah Karangasem (Seraya), Bangli (Kintamani), dan sedikit di wilayah Klungkung (Nusa Penida), dan wilayah Badung (Jimbaran). Laju erosi yang masuk kategori sangat berat ini mencapai sekitar 501,999 - 3.063,029 ton/ha/tahun.
Isu kerusakan lingkungan lainnya yang cukup mengkhawatirkan di Bali ini adalah intrusi air laut. Terjadinya intrusi ini dimungkinkan karena terjadi pengembangan kawasan pariwisata yang umumnya terdapat di pinggir pantai. Intrusi ini telah terjadi di Badung dan Denpasar, terutama di pantai-pantai yang termasuk kawasan pariwisata dengan kemajuan yang cukup pesat. Di pantai sebelah selatan Singaraja juga diprediksi akan mengalami intrusi karena kota tersebut berkembang dengan sangat pesat.

Keberadaan intrusi di Denpasar dan Badung bahkan telah memperngaruhi kualitas air tanah. Dari hasil penelitian Dinas Pertambangan Kota Denpasar (1998), tercatat bahwa terjadi intrusi air laut dengan kedalaman 25 m yang telah menjangkau jarak sampai 1,76 km ke arah darat yang meliputi desa Pemogan, Pedungan, Sesetan, dan Sidakarya. Selain itu terjadi pula intrusi dengan kedalaman 50 km di Desa Sanur Kauh.
III.         Faktor Pendorong Alih Fungsi Lahan

Jika diperhatikan di sektor pariwisata, Badung, Denpasar dan Gianyar begitu mendominasi. Dominasi ini nampak dari digenjot habis-habisannya potensi wisata di wilayah tersebut, sampai-sampai sektor pertanian menjadi anak tiri. Dampak susulan dari semangat pariwisata-isme tersebut adalah lahirnya gerakan alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi fasilitas bisnis (Pariwisata dan pertokoan). Dalam sepuluh tahun terakhir tercatat telah terjadi alih fungsi lahan mencapai 1000 ha/tahun, dari tanah pertanian beralih sebagai penunjang fasilitas publik seperti, perumahan, pertokoan dan penunjang pariwisata lainnya.
Banyak faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan di Bali. Pertama, murahnya harga produk pertanian yang tidak sesuai dengan biaya produksi yang sering kali mengakibatkan petani merugi. Akibatnya banyak petani beralih profesi, menjadi buruh bangunan misalnya. Kedua, Pertanian dianggap sebagai mata pencaharian tambahan bukan sebagai mata pencaharian utama, karena tidak mencukupi kebutuhan petani.
Di pasaran banyak produk-produk pertanian impor baik dari luar daerah Bali maupun dari luar negeri. Ini menambah catatan suram, bagaimana Bali sekarang sangat tergantung pada produk pertanian luar. Seperti sayuran dan buah-buahan yang masih didatangkan dari luar daerah. Industri Pariwisata di Bali sangat sedikit menyerap hasil pertanian masyarakat Bali, yang cerminan gagalnya sinergitas antara sektor pertanian dan pariwisata. Terlebih, produk pertanian lokal kurang diminati oleh masyarakatnya sendiri, ini terlihat dari bagaimana upacara keagamaan di Bali sekarang ini cenderung dimeriahkan oleh buah-buah impor.
Rusaknya saluran irigasi juga turut mendorong tingginya alih fungsi lahan. Kerusakan saluran irigasi di daerah hulu akibat pembangunan perumahan atau vila menimbulkan banyak lahan kritis di daerah hilir. Masalah tersebut juga menjadi variable yang mendorong petani untuk menjual tanahnya karena dianggap tidak produktif lagi. Dorongan kuat juga terjadi di kalangan generasi muda bali itu sendiri. Keengganan pemuda untuk menggeluti sektor pertanian, sehingga tidak adanya regenerasi yang berkelanjutan dalam pengelolaan pertanian.
Tidak hanya berakibat pada alih fungsi lahan pertanian. Pengeloaan ruang selama ini yang lebih condong ke pembangunan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan yang sangat memprihatinkan. Misalnya saja daerah sempadan sungai ayung yang dulunya ditumbuhi pepohonan, kini banyak dibangun fasilitas pariwisata. Pembangunan itu menyebabkan daerah sempadan sungai ayung menjadi rawan longsor dan banjir. Itu adalah akibat dari menurunnya daya resap tanah terhadap air hujan yang juga berpengaruh terhadap menurunnya debit air sungai. Daerah sempadan pantai menjadi area privat sehingga masyarakat pribumi kehilanga hak untuk menikmati keindahan alamnya sendiri.
Masyarakat Bali tidak berdaulat di tanahnya sendiri, itulah realitas yang hampir sempurna, karena sebagian sumber daya alam (tanah) pindah kepemilikan dari masyarakat pribumi ke golongan kapitalis. Begitu besarnya alih fungsi lahan dan berpindahnya kepemilikan lahan di Bali, bukan hal yang mustahil jikalau lambat laun tanah Bali beserta Budayanya dijual kepada asing.
Pemerintah “Gila” Pariwisata Rencana pemerintah untuk membangun bandara internasional ke-2 di Bali yang tertuang dalam Perda No. 16 tahun 2009 tentang RTRWP Bali ditakutkan akan mempercepat kehancuran Bali dan eksploitasi ruang secara besar-besaran. Bandara yang rencananya akan dibangun di daerah Bali Utara yaitu Buleleng, akan mengakibatkan alih fungsi lahan yang cukup tinggi. Untuk pembangunan bandara saja memerlukan lahan sekitar 1000 ha, belum lagi dampak yang akan ditimbulkan dari pembangunan bandara tersebut.
Dengan adanya bandara tentunya akan memerlukan beragam fasilitas. Seperti penginapan dan pertokoan yang akan merampas lahan pertanian.

IV.               Dampak dari alih fungsi lahan terhadap Sumber Daya Air di bali
Kepadatan penduduk dan semakin terbatasnya daya dukung akibat alih fungsi lahan besar-besaran di Pulau Bali, diprediksi akan membuat pulau dewata  akan mengalami krisis air bersih pada 2015.
krisis air dipicu oleh meningkatnya beban kepadatan tinggi dan tidak didukung sumber daya alam. Kabupaten dan Kotamadya, akan mengalami dampak serius akibat krisis air mendatang, jika tidak ada upaya penanganan serius dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan tidak mengeksploitasi sumber alam.
Masalah krisis air ini pun terjadi merata di wilayah Bali, kecuali lokasi tertentu yang masih dekat danau, rata-rata debit air di sejumlah sungai, waduk, dan danau dilaporkan telah turun drastis setiap tahun khususnya bulan Agustus sampai Oktober. Menurut laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia,  sejak tahun 1995 defisit air telah terlihat di Bali sebanyak 1,5 miliar m³ per tahun. Defisit terus meningkat hingga 7,5 miliar m³ per tahun pada 2000. Kemudian, diperkirakan pada 2015 defisit air di Bali akan mengakibatkan kekurangan air sebanyak 27,6 miliar m³ per tahun.
Sedangkan menurut laporan LP3B (Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Pembangunan Bali), satu keluarga Bali memerlukan air rata-rata 100 liter per hari, sedangkan kamar hotel membutuhkan, 2.000 liter per hari per kamar yang tercatat sebanyak 15.906 unit (1999) membutuhkan air rata-rata 3.181.200 liter per hari, dan setiap lapangan golf 18 Hole membutuhkan 3.000.000 liter perhari. Belum lagi jumlah kebutuhan rumah tangga mencapai 76.335.000 liter untuk 7763.550 Kepala Keluarga (KK). Hal ini menunjukkan kepada kita apa yang akan terjadi pada Bali ditahun-tahun mendatang.
Selanjutnya, menurut pengamatan Walhi Bali dari tahun 2006 – 2007 saja, sejumlah daerah tercatat mengalami krisis air, antara lain: Tirta Mas Mampeh di Kintamani, Denpasar, Negara, Batu Agung, Singaraja, Besakih (Karangasem), Semarapura (Klungkung), dan Nusa Penida. Persoalan krisis air di Bali berdampak pada kehidupan sosial. Krisis air di Bali telah memicu konflik antar warga dengan warga, petani dengan petani, petani dengan perusahaan air minum.
Beberapa kasus konflik masalah air yang muncul di media lokal antara lain; ketegangan antara warga subak dengan pihak swasta di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan. Warga subak dengan perusahaan air minum daerah (PDAM) di Yeh Gembrong, Kabupaten Tabanan. Dan, antara warga masyarakat dengan pemerintah kabupaten Telaga Tunjung, Kabupaten Tabanan.
Bali merupakan pulau kecil yang berada dalam ekspansi industri pariwisata yang terus menerus mengalami degradasi. Penurunan jumlah lahan produktif akan terus menerus terjadi seiring dengan semakin pesatnya ekspansi investasi yang boros lahan, dan ketidaan perlindungan terhadap sektor pertanian di Bali.
Terkait dengan Hari Pangan Se-dunia yang jatuh pada 16 Oktober lalu, merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk mulai memikirkan masa depan bangsa ini dari sektor pangan. Karena pangan merupakan kebutuhan mendasar rakyat yang harus dijamin negara dan kedaulatan pangan akan sangat menentukan kedaulatan bangsa.
Untuk itu, Somasi-KP mendorong Pemerintah Provinsi Bali dan seluruh pemerintah Kabupaten/ Kota di Bali untuk segera melakukan moratorium (jeda) alih fungsi lahan produktif. Jeda ini dilakukan dengan jalan menghentikan sementara waktu ekspansi dari investasi yang boros lahan dan boros sumber daya alam. Pada saat jeda dilakukan, kegiatan pembangunan lebih diarahkan pada penyelesaian konflik agraria dan konflik perebutan sumber daya alam; melakukan evaluasi atas daya dukung dan daya tampung Bali; melakukan penataan kerusakan sendi kehidupan dan lingkungan hidup akibat kesalahan pengelolaan tanah Bali selama ini; dan menyusun cetek biru pembangunan Bali kedepan yang lebih baik, adil dan berkelanjutan dengan pendekatan bio-regionalisme.
Pada saat jeda, kegiatan pembangunan juga dilakukn dengan mengeluarkan kebijakan perlindungan (konservasi) lahan produktif untuk menjamin ketersediaan pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan di Bali. Kebijakan tersebut memuat antara lain pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi lahan pertanian di wilayah konservasi yang dimiliki oleh petani kecil; mengambil lahan yang ditelantarkan investor dan spekulan tanah untuk digarap oleh petani yang tidak memiliki lahan; mendorong pertanian berkelanjutan dengan meninggalkan pertanian berbasis agrokimia dan transgenik; melakukan perlindungan kawasan ekologi genting Bali, yakni kawasan hutan, danau, daerah aliran sungai, pesisir dan pulau-pulau kecil Bali.



   V.               Ketidak berdayaan Pemprov
Memang kondisi ini tidaklah sepenuhnya merupakan kesalahan pemerintah provinsi, mengingat ketidakberdayaan pemerintah provinsi untuk menghadapi kerakusan pemerintah kabupaten/kota. Salah satu apresiasi yang dapat diberikan kepada Pemerintah Provinsi Bali adalah membuka akses partisipasi masyarakat dalam penyusunan rancangan tata ruang wilayah Provinsi Bali tahun lalu. Meskipun waktu yang cukup panjang dibutuhkan untuk merumuskan namun hasilnya cukup memberikan gambaran bahwa Bali ke depan akan lebih adil dan hijau.
Di sisi yang lain, para bupati dan wali kota telah bersiap-siap untuk ''membunuh'' aturan tentang tata ruang yang baru dilahirkan tersebut. Dengan alasan bahwa aturan tersebut tidak memperhatikan kepentingan kabupaten/kota untuk mengobral murah daerahnya untuk investasi pariwisata. Para bupati dan wali kota menyatakan siap pasang badan untuk menghadang pemberlakuannya di daerahnya masing-masing.