I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Di
berbagai belahan dunia yang kaya akan sumber daya alam, alih fungsi lahan
sering kali berujung pada kerusakan ekosistem yang begitu cepat. Salah satu
dampak kerusakan ekosistem tersebut adalah munculnya krisis sumber daya air.
Air adalah sumber daya yang sangat menentukan dan menyeimbangkan”metabolisme”
social dan lingkungan.Pertumbuhan penduduk, ekonomi maupun industry telah
menyebabkan peningkatan kebutuhan terhadap pemukiman dan kawasan industrial ini
mengakibatkan terjadinya perubahan alih fungsi lahan, dalam hal ini hutan oleh
masyarakat atau penduduk.
Penduduk
adalah salah satu komponen yang mempengaruhi perkembangan suatu kota. Banyak
kota yang berkembang secara tidak terkendali, sehingga menyebabkan degradasi
lingkungan. Di antaranya penyebab erosi lingkungan adalah terjadinya invansi
penggunaan tanah untuk pembangunan kawasan baru dan peningkatan infrastruktur
pada wilayah-wilayah yang semestinya menjadi daerah preservasi alami untuk
melestarikan sumberdaya air permukaan, air tanah, dan tanah. Perkembangan dan
kemajuan kota diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan sebagai konsekuensinya
perkembangan kegiatan ekonomi maupun sosial dari peningkatan penduduk. Beberapa
hal yang menjadi daya pikat kota itu sendiri maupun di wilayah sekitarnya yaitu
ketika daya dukung kota melampaui batas. Maka timbul berbagai macam
permasalahan, di antaranya meningkatnya kebutuhan akan fasilitas infrastruktur.
Akibatnya perubahan tata guna lahan berdampak negatif kepada kota sendiri
terutama menurunnya tingkat kenyamanan akibat dari terbatasnya areal lahan
terbuka yang ada. Secara lebih khususnya perubahan tersebut berdampak kepada
banjir dan genangan yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
Peningkatan
jumlah penduduk memberikan konsekuensi pula terhadap terjadinya kompetisi dalam
pemanfaatan tata guna lahan pada suatu DAS, mengandung arti bahwa penduduk
semakin banyak melakukan penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk berbagai
pemanfaatan dan aktivitas serta melakukan konversi atau perubahan vegetasi.
Menurut Soemarwoto (1978), menurun dan merosotnya kondisi suatu DAS pada
umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: adanya tekanan penduduk,
tekanan pembangunan, dan tekanan sosial ekonomi masyarakat dalam kawasan daerah
aliran sungai (DAS).
II.
Tujuan
Tujuan utama di buatnya makalah ini adalah
bertujuan untuk:
a.
Mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari
peralihan fungsi
lahan terhadap
Sumber Daya Air di Bali
b.
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengelolaan Sumber Daya Air
nya.
2.1.
Permasalahan
Bali merupakan pulau kecil
yang saat ini tengah berada dalam ancaman perubahan iklim yang sebagian besar
rakyatnya merupakan kelompok rentan terkena dampak, seperti petani, nelayan,
maupun perajin.
Masif-nya eskploitasi
lingkungan hidup dan sumber daya alam oleh industri pariwisata, menyebabkan
semakin mendesak daya dukung Bali dan memarjinalkan akses masyarakat lokal
terhadap sumber daya alamnya.
Bali saat ini mendapatkan
pendapatan asli daerah-nya dari bea balik nama kendaraan bermotor. Hal ini
merupakan hal yang tidak berkelanjutan di masa mendatang. Karena semakin banyak
kendaraan yang masuk Bali tanpa ada kontrol dan melebihi daya dukung jalan di
Bali maka akan menyebabkan kemacetan, pengamburan BBM, pencemaran dan semakin
banyak alih fungsi lahan untuk dijadikan jalan-jalan alternatif ataupun
bay-pass.
Ditilik secara umum, kondisi
lingkungan hidup di Bali cukup memprihatinkan. Dalam arti masih banyak yang
perlu dibenahi dan mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan
masyarakat. Bayangkan saja, Bali yang berpenduduk sekitar 3,5 juta jiwa ini
sudah sangat padat penduduk bila dilihat dari kapasitas daya tampungnya.
Belum lagi akibat sampingan
yang ditimbulkan kepadatan penduduk tersebut yaitu peralihan fungsi lahan.
Setidaknya tercatat sekitar 1.000 ha tanah persawahan beralih fungsi setiap
tahunnya. Besarnya volume alih fungsi lahan ini tentu saja sangat
memprihatinkan karena perlahan-lahan Bali berubah menjadi pulau beton.
Tidak dapat dimungkiri alih
fungsi lahan ini juga memicu semakin berkurangnya lahan hijau dan pori-pori
perkotaan. Tercatat pula di data Dinas Kehutanan Propinsi Bali, kawasan hutan
yang termasuk kategori kritis/rawan mencapai sekitar 18,39 ha dari luas kawasan
hutan yang ada.
Sangat banyak persoalan
lingkungan hidup yang mesti ditanggulangi pemerintah Bali khususnya dan seluruh
stakeholder Bali umumnya. Bila didata, kerusakan lingkungan hidup yang terjadi
di Bali cukup membuat kita terkejut. Misalnya saja persoalan ketersediaan air bersih.
Sumber daya air di Bali yang tidak merata menyebabkan beberapa daerah kesulitan
memperoleh air bersih.
Selain itu sumber daya air
tanah dan mata air yang tersedia pun sudah cukup banyak dimanfaatkan untuk
kebutuhan air domestik maupun nondomestik. Dilihat per kabupaten/kota, Denpasar
dan Badung telah mengalami defisit air bila seluruh kebutuhan airnya hanya
memanfaatkan air bawah tanah. Sementara itu di daerah pegunungan seperti di
Kintamani, Bangli, masyarakatnya juga mengalami kekurangan air yang cukup parah
sehingga tidak semua masyarakat memperoleh air bersih yang memadai.
Meski secara keseluruhan
kondisi sumber air di Bali cukup memprihatinkan, ketika musim hujan tiba,
beberapa daerah mengalami banjir. Rawan banjirnya daerah-daerah di Bali ini tidak
lain disebabkan daerah aliran sungai (DAS) yang mengalami kerusakan. Dari hasil
survai lapangan atas 162 buah sungai yang termasuk dalam wilayah DAS Bali,
terdapat 28 sungai yang masuk kategori rawan banjir. Setidaknya total sekitar
34 sungai di Bali dinyatakan kritis karena adanya laju kerusakan DAS yang cukup
memprihatinkan dari tahun ke tahun.
Walaupun telah ada sejumlah
proyek untuk menangani masalah ini, tetap saja kerusakan DAS ini menjadi
persoalan yang perlu penanganan serius dari berbagai pihak karena ancaman
terhadap degradasi kualitas DAS ini lambat laun dapat mencapai tingkat yang
semakin kritis.
Persoalan lanjutan yang
timbul akibat buruknya kualitas DAS Bali ini adalah erosi. Tingkat erosi sedang
sampai berat terjadi di beberapa daerah di Bali, terutama karena adanya
penggunaan lahan tegalan dan kebun campuran, serta sedikit pada semak belukar
dengan kelas kemiringan lereng 3-45 persen.
Tingkat erosi sedang sampai
berat ini tersebar pada hampir semua kabupaten dan kota yang ada di Bali. Namun,
yang paling banyak ada di daerah Tabanan, Bangli, Karangasem, dan Buleleng.
Sementara itu, bila dilihat dari kondisi erosi yang sangat berat, daerah yang
paling dominan adalah di wilayah Karangasem (Seraya), Bangli (Kintamani), dan
sedikit di wilayah Klungkung (Nusa Penida), dan wilayah Badung (Jimbaran). Laju
erosi yang masuk kategori sangat berat ini mencapai sekitar 501,999 - 3.063,029
ton/ha/tahun.
Isu kerusakan lingkungan
lainnya yang cukup mengkhawatirkan di Bali ini adalah intrusi air laut. Terjadinya
intrusi ini dimungkinkan karena terjadi pengembangan kawasan pariwisata yang
umumnya terdapat di pinggir pantai. Intrusi ini telah terjadi di Badung dan
Denpasar, terutama di pantai-pantai yang termasuk kawasan pariwisata dengan
kemajuan yang cukup pesat. Di pantai sebelah selatan Singaraja juga diprediksi
akan mengalami intrusi karena kota tersebut berkembang dengan sangat pesat.
Keberadaan intrusi di
Denpasar dan Badung bahkan telah memperngaruhi kualitas air tanah. Dari hasil
penelitian Dinas Pertambangan Kota Denpasar (1998), tercatat bahwa terjadi
intrusi air laut dengan kedalaman 25 m yang telah menjangkau jarak sampai 1,76
km ke arah darat yang meliputi desa Pemogan, Pedungan, Sesetan, dan Sidakarya.
Selain itu terjadi pula intrusi dengan kedalaman 50 km di Desa Sanur Kauh.
III.
Faktor Pendorong Alih Fungsi Lahan
Jika diperhatikan di sektor pariwisata, Badung, Denpasar dan Gianyar begitu mendominasi. Dominasi ini nampak dari digenjot habis-habisannya potensi wisata di wilayah tersebut, sampai-sampai sektor pertanian menjadi anak tiri. Dampak susulan dari semangat pariwisata-isme tersebut adalah lahirnya gerakan alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi fasilitas bisnis (Pariwisata dan pertokoan). Dalam sepuluh tahun terakhir tercatat telah terjadi alih fungsi lahan mencapai 1000 ha/tahun, dari tanah pertanian beralih sebagai penunjang fasilitas publik seperti, perumahan, pertokoan dan penunjang pariwisata lainnya.
Banyak
faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan di Bali. Pertama, murahnya
harga produk pertanian yang tidak sesuai dengan biaya produksi yang sering kali
mengakibatkan petani merugi. Akibatnya banyak petani beralih profesi, menjadi
buruh bangunan misalnya. Kedua, Pertanian dianggap sebagai mata pencaharian
tambahan bukan sebagai mata pencaharian utama, karena tidak mencukupi kebutuhan
petani.
Di pasaran
banyak produk-produk pertanian impor baik dari luar daerah Bali maupun dari
luar negeri. Ini menambah catatan suram, bagaimana Bali sekarang sangat
tergantung pada produk pertanian luar. Seperti sayuran dan buah-buahan yang
masih didatangkan dari luar daerah. Industri Pariwisata di Bali sangat sedikit
menyerap hasil pertanian masyarakat Bali, yang cerminan gagalnya sinergitas
antara sektor pertanian dan pariwisata. Terlebih, produk pertanian lokal kurang
diminati oleh masyarakatnya sendiri, ini terlihat dari bagaimana upacara
keagamaan di Bali sekarang ini cenderung dimeriahkan oleh buah-buah impor.
Rusaknya
saluran irigasi juga turut mendorong tingginya alih fungsi lahan. Kerusakan
saluran irigasi di daerah hulu akibat pembangunan perumahan atau vila
menimbulkan banyak lahan kritis di daerah hilir. Masalah tersebut juga menjadi
variable yang mendorong petani untuk menjual tanahnya karena dianggap tidak
produktif lagi. Dorongan kuat juga terjadi di kalangan generasi muda bali itu
sendiri. Keengganan pemuda untuk menggeluti sektor pertanian, sehingga tidak
adanya regenerasi yang berkelanjutan dalam pengelolaan pertanian.
Tidak hanya
berakibat pada alih fungsi lahan pertanian. Pengeloaan ruang selama ini yang
lebih condong ke pembangunan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan yang
sangat memprihatinkan. Misalnya saja daerah sempadan sungai ayung yang dulunya
ditumbuhi pepohonan, kini banyak dibangun fasilitas pariwisata. Pembangunan itu
menyebabkan daerah sempadan sungai ayung menjadi rawan longsor dan banjir. Itu
adalah akibat dari menurunnya daya resap tanah terhadap air hujan yang juga
berpengaruh terhadap menurunnya debit air sungai. Daerah sempadan pantai
menjadi area privat sehingga masyarakat pribumi kehilanga hak untuk menikmati
keindahan alamnya sendiri.
Masyarakat
Bali tidak berdaulat di tanahnya sendiri, itulah realitas yang hampir sempurna,
karena sebagian sumber daya alam (tanah) pindah kepemilikan dari masyarakat pribumi
ke golongan kapitalis. Begitu besarnya alih fungsi lahan dan berpindahnya
kepemilikan lahan di Bali, bukan hal yang mustahil jikalau lambat laun tanah
Bali beserta Budayanya dijual kepada asing.
Pemerintah
“Gila” Pariwisata Rencana pemerintah untuk membangun bandara internasional ke-2
di Bali yang tertuang dalam Perda No. 16 tahun 2009 tentang RTRWP Bali
ditakutkan akan mempercepat kehancuran Bali dan eksploitasi ruang secara
besar-besaran. Bandara yang rencananya akan dibangun di daerah Bali Utara yaitu
Buleleng, akan mengakibatkan alih fungsi lahan yang cukup tinggi. Untuk
pembangunan bandara saja memerlukan lahan sekitar 1000 ha, belum lagi dampak
yang akan ditimbulkan dari pembangunan bandara tersebut.
Dengan
adanya bandara tentunya akan memerlukan beragam fasilitas. Seperti penginapan
dan pertokoan yang akan merampas lahan pertanian.
IV.
Dampak dari alih fungsi lahan terhadap Sumber Daya Air
di bali
Kepadatan penduduk dan
semakin terbatasnya daya dukung akibat alih fungsi lahan besar-besaran di Pulau
Bali, diprediksi akan membuat pulau dewata
akan mengalami krisis air bersih pada 2015.
krisis air dipicu oleh
meningkatnya beban kepadatan tinggi dan tidak didukung sumber daya alam.
Kabupaten dan Kotamadya, akan mengalami dampak serius akibat krisis air
mendatang, jika tidak ada upaya penanganan serius dan kesadaran masyarakat
untuk menjaga dan tidak mengeksploitasi sumber alam.
Masalah krisis air ini pun
terjadi merata di wilayah Bali, kecuali lokasi tertentu yang masih dekat danau,
rata-rata debit air di sejumlah sungai, waduk, dan danau dilaporkan telah turun
drastis setiap tahun khususnya bulan Agustus sampai Oktober. Menurut laporan
dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, sejak tahun 1995 defisit air telah terlihat
di Bali sebanyak 1,5 miliar m³ per tahun. Defisit terus meningkat hingga 7,5
miliar m³ per tahun pada 2000. Kemudian, diperkirakan pada 2015 defisit air di
Bali akan mengakibatkan kekurangan air sebanyak 27,6 miliar m³ per tahun.
Sedangkan menurut laporan
LP3B (Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Pembangunan Bali), satu keluarga Bali
memerlukan air rata-rata 100 liter per hari, sedangkan kamar hotel membutuhkan,
2.000 liter per hari per kamar yang tercatat sebanyak 15.906 unit (1999)
membutuhkan air rata-rata 3.181.200 liter per hari, dan setiap lapangan golf 18
Hole membutuhkan 3.000.000 liter perhari. Belum lagi jumlah kebutuhan rumah
tangga mencapai 76.335.000 liter untuk 7763.550 Kepala Keluarga (KK). Hal ini
menunjukkan kepada kita apa yang akan terjadi pada Bali ditahun-tahun
mendatang.
Selanjutnya, menurut
pengamatan Walhi Bali dari tahun 2006 – 2007 saja, sejumlah daerah tercatat
mengalami krisis air, antara lain: Tirta Mas Mampeh di Kintamani, Denpasar,
Negara, Batu Agung, Singaraja, Besakih (Karangasem), Semarapura (Klungkung),
dan Nusa Penida. Persoalan krisis air di Bali berdampak pada kehidupan sosial.
Krisis air di Bali telah memicu konflik antar warga dengan warga, petani dengan
petani, petani dengan perusahaan air minum.
Beberapa kasus konflik
masalah air yang muncul di media lokal antara lain; ketegangan antara warga
subak dengan pihak swasta di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan. Warga subak dengan
perusahaan air minum daerah (PDAM) di Yeh Gembrong, Kabupaten Tabanan. Dan,
antara warga masyarakat dengan pemerintah kabupaten Telaga Tunjung, Kabupaten
Tabanan.
Bali merupakan pulau kecil
yang berada dalam ekspansi industri pariwisata yang terus menerus mengalami
degradasi. Penurunan jumlah lahan produktif akan terus menerus terjadi seiring
dengan semakin pesatnya ekspansi investasi yang boros lahan, dan ketidaan
perlindungan terhadap sektor pertanian di Bali.
Terkait dengan Hari Pangan
Se-dunia yang jatuh pada 16 Oktober lalu, merupakan momentum yang tepat bagi
pemerintah untuk mulai memikirkan masa depan bangsa ini dari sektor pangan.
Karena pangan merupakan kebutuhan mendasar rakyat yang harus dijamin negara dan
kedaulatan pangan akan sangat menentukan kedaulatan bangsa.
Untuk itu, Somasi-KP
mendorong Pemerintah Provinsi Bali dan seluruh pemerintah Kabupaten/ Kota di
Bali untuk segera melakukan moratorium (jeda) alih fungsi lahan produktif. Jeda
ini dilakukan dengan jalan menghentikan sementara waktu ekspansi dari investasi
yang boros lahan dan boros sumber daya alam. Pada saat jeda dilakukan, kegiatan
pembangunan lebih diarahkan pada penyelesaian konflik agraria dan konflik
perebutan sumber daya alam; melakukan evaluasi atas daya dukung dan daya
tampung Bali; melakukan penataan kerusakan sendi kehidupan dan lingkungan hidup
akibat kesalahan pengelolaan tanah Bali selama ini; dan menyusun cetek biru
pembangunan Bali kedepan yang lebih baik, adil dan berkelanjutan dengan
pendekatan bio-regionalisme.
Pada saat jeda, kegiatan
pembangunan juga dilakukn dengan mengeluarkan kebijakan perlindungan
(konservasi) lahan produktif untuk menjamin ketersediaan pangan dan mewujudkan
kedaulatan pangan di Bali. Kebijakan tersebut memuat antara lain pembebasan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi lahan pertanian di wilayah konservasi yang
dimiliki oleh petani kecil; mengambil lahan yang ditelantarkan investor dan
spekulan tanah untuk digarap oleh petani yang tidak memiliki lahan; mendorong
pertanian berkelanjutan dengan meninggalkan pertanian berbasis agrokimia dan
transgenik; melakukan perlindungan kawasan ekologi genting Bali, yakni kawasan
hutan, danau, daerah aliran sungai, pesisir dan pulau-pulau kecil Bali.
V.
Ketidak berdayaan Pemprov
Memang kondisi ini tidaklah
sepenuhnya merupakan kesalahan pemerintah provinsi, mengingat ketidakberdayaan
pemerintah provinsi untuk menghadapi kerakusan pemerintah kabupaten/kota. Salah
satu apresiasi yang dapat diberikan kepada Pemerintah Provinsi Bali adalah
membuka akses partisipasi masyarakat dalam penyusunan rancangan tata ruang
wilayah Provinsi Bali tahun lalu. Meskipun waktu yang cukup panjang dibutuhkan
untuk merumuskan namun hasilnya cukup memberikan gambaran bahwa Bali ke depan
akan lebih adil dan hijau.
Di sisi yang lain, para
bupati dan wali kota telah bersiap-siap untuk ''membunuh'' aturan tentang tata
ruang yang baru dilahirkan tersebut. Dengan alasan bahwa aturan tersebut tidak
memperhatikan kepentingan kabupaten/kota untuk mengobral murah daerahnya untuk
investasi pariwisata. Para bupati dan wali kota menyatakan siap pasang badan
untuk menghadang pemberlakuannya di daerahnya masing-masing.