Sabtu, 20 April 2013


SENJA DI SERAMBI RUMAH

Karya Reswati Ningsih
Matahari telah kembali keperaduannya. Sinarnya telah tergantikan oleh gelap. Perannya telah selesai. Jam kerjanyapun telah usai. Kini tinggal sang penjaga malam datang mengisi kekosongan.
Aku terduduk di serambi rumah. Memasang telingga untuk diisi oleh kumandang adzan maghrib. Celotehan ibu tak membangkitkanku untuk masuk.
“Anak perawan jangan duduk di teras ketika Maghrib. Masuk .”
“Sebentar lagi bu,”jawabku hanya untuk menghentikan celotehan Ibu.
Suasana senja kali ini menyemangatkan pikiranku untuk bergerilya untuk menuju masa-masa yang kini telah menyublim menjadi kenangan. Aku memutar DVD yang ada dimemori otakku tantang kau, Rendi.

Semilir angin senja begitu terasa menyengat kulit mengalir keseluruh urat nadi dan menusuk kelumbung hati. Saat angin senja seperti ini, beberapa tahun silam kau duduk disampingku. Tak pernah kau biarkan sebelah bangku ini kosong. Tak pernah kau biarkan bibir ini mengatup tanpa senyum.

Di senja seperti ini kau pernah datang, mengusap pipiku yang basah karna hujan, kau mekarkan hati ini dan tak kau biarkan mulut ini terbungkam. Setiap kata bijak yang keluar dari mulutmu adalah penenang bagi jiwaku.
Aku mencintaimu, Rendi. Rasanya tidak ingin kalau harus berpisah. Aku akan menjadi raga tanpa tulang. Tak bisa berdiri. Tak bisa menguyah makan. Aku tak bisa menyebutmu sebagai kenangan.
Aku hanya melihat kau terdiam. Wajahmu terlihat ragu. Tapi aku tak mau menaruh curiga padamu. Apalagi tentang hubunganmu dengan sahabatku Lina. Tapi ada keraguan dalam hatiku, saat usapan tanganmu mulai menjauh dari pipiku.
Malam minggu ini aku terduduk seperti biasa diserambi rumah. Menantikan kehadiranmu yang tanpa terpanggil pasti kan hadir. Aneh. Jam telah melewati adzan isya, aku pun telah sempatkan untuk berdo’a. namun belum juga terdengar ketukan pintu darimu saat aku telah tinggalkan serambi itu. Bahkan ujung kuncup hidungmu itupun tak terlintas melewati hidungku.
“Ada dimana mas Rendi? Kenapa tak datang ? Sibukkah mas?”
Berulang kali laporan pesan terkirim melintas diberanda handphone ku. Namun tiada balas darimu. Haruskah malam minggu ini aku hampa tanpa kehadiranmu? Tiadanya kabar darimu telah membuat pikiranku terisi oleh kegelapan malam tanpa bintang.
Apakah Lina telah menynyikan lagu nina bobo sehingga kau terlelap diranjang hatinya? Ataukah dia telah mengotori otakmu dengan jambi-jambi warisan nenek moyangnya? Aaaaaaacccchhhh…… tiada hentinya pikiranku bertanya-tanya tiada hentinya. Tapi tiada jawab.

Gelengan kepalamu selalu menjadi pemandangan atas semua jawabanmu. Kau bilang kau akan setia kepadaku, selalu mencintaiku dan akan segera melamarku. Deretan kalimat itu selalu bersenandung seperti lagu yang kau nyanyikan. Dan lagi-lagi aku terbius oleh bualanmu. Walau kerap kali aku mendengan kedekatanmu dengan Lina.
Malam semakin larut. Tak ingin aku biarkan kehitaman mengisi pikiranku. Lebih baik segera aku istirahatkan pikiran ini. Berharap esok pagi mentari mengajarkanku tentang kebijaksanaan. Tak pandang bulu. Dan aaaccchhh…… ku tutup mataku dan terbang.

Mentari telah beranjak dari peraduannya. Aku pun telah siap dengan seragam kerjaku. Berjas putih dan elana putih. Ku urai separuh rambutku dan ku pasang jepit bunga di pemisahnya. Anggun. Aku memang terlihat begitu anggun. Mungkin ini yang membuatku dicintai oleh Rendi.
Benak ini kembali tertancap belati yang kau kirimkan bagai santet yang datang menghujam tiba-tiba. Seketika, keanggunanku hilang bagitu saja. Pikiranku semakin cepat bergrilya menghujamkan beribu tanya yang aku sendiri tak tahu jawabnya.

Akankah dia datang menjemputku ? Seperti pagi-pagi biasanya dan mengantarkanku berangkat kerja sebelum dia sendiri beranjak ke pekerjaannya. Namun mentari semakin terik menyinari bumi. Waktu pun semakin berjalan maju. Alangkah bodohnya apabila aku hanya menunggunya yang tak kunjung datang. Menunggunya dan pastinya berangkat terlambat itu berarti menantang pemimpin dan mempermalukan diri sendiri di depan rakyat.

Alangkah pintarnya apabila aku berangkat sendiri dengan sepeda motor yang aku punyai. Tapi dia akan marah apabila aku tinggal. Tapi aku akan terlambat apabila menunggunya. Sudahlah. Aku segera meraih kunci motor di meja riasku. Aku segera beranjak dari peraduanku dan melangkah menuju tempat penentu masa depan.
Serasa baru kemarin ku pijaki senin setelah malam kehampaan, kini aku kembali di pertemukan dengan senin yang kelima setelah malam kehampaan. Dan aku tetap hampa. Masih hampa.

Ruang kerjaku terasa sepi. Meja kerja dan lembaran-lembaran kerja bagai ikut merasakan kehampaan yang sedang menghujam jiwaku. Bunyi tambun mainan para pekerja bangunanpun tak dapat pecahkan keheningan yang menghujam. Aku serasa mati. Tak ada pekerjaan yang dapat aku selesaikan selincah dulu. Selincah aku menari di panggung saat menjajaki dunia teater.
Semuanya hancur. Kacau. Bagai petugas lighting yang tledor dalam memblackout lampu panggung hingga menciptakan kekacauan. Perkataan dari hasil penilaian para tetangga membuat perasaanku semakin kacau. Aku masih ingat dimalam minggu kemarin, pernah seorang tetanggaku datang dengan kekasihnya menghampiri saat aku tengah tenggelam dalam keheningan malam dan kehampaan perasaan. Mereka mengabariku tentang suatu hal yang membuatku ingin putus darimu, Rendi.
“Hai, mengapa kamu masih disini ? Rendi sudah menunggumu di gardu, tadi aku bertemu dengannya disana. Mengapa kau masih saja disini ?”

Aku hanya menggeleng. Melihat reaksiku yang dingin, sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara itu langsung beranjak meninggalkanku. Aku hanya bisa melongo mendengar pernyataan itu. Tiada janji yang ku ikat dengan Rendi malam ini. Bahkan sudah lama tak ku pijaki diri dihadapannya.
Rasa penasran dalam serbuan beribu pertanyaan menghantui. Aku beranjak dari serambi. Aku berdiri di depan rumahku. Ku arahkan pandangan mataku menuju kearah gardu yang terpampang jelas apabila dilihat dari halaman rumahku.

Ya. Aku dapati rendi. Dia mengenakan baju yang biasa dia pakai saat aku dan Rendi tengah berjauh hubungan. Aku mendapati dia sendiri, mungkin tengah menunggu seseorang. Terpampang diwajahnya dia tengah gelisah menunggu. Terpikir untuk menghampiri dan menanyakan sesuatu padanya, semua keinginan terpatahkan bahkan batal. Seorang gadis yanng sepertinya aku kenal datang dari arah berlawanan dan langsung mencumbu Rendi.

Perasaanku terpontang-panting bagai kapal berlayar ditengah laut saat ombak pasang, saat ku dapati jawaban bahwa gadis itu adalah Lina, sahabatku. Aku seperti tengah melakoni operasi pencangkokkan hati tanpa pengaruh obat bius. Tubuhku terbang melayang lalu jatuh terhempas dengan dahsyatnya. Otakku serasa tercabik-cabik gading singga kelaparan.

Tanpa sadar. Panasnya sinar mentari telah lelehkan gumpalan es didaerah kutub utara. Semua panca indraku tak berfungsi sempurna bahkan telah tak berfungsi. Sepintas aku seolah mendengar panggilan dari suara yang ku kenal, seperti suara Ibu. Tap suara itu hanya memantul dan memantul entah keman. Sampai akhirnya aku dapati semua pandanganku terasa gelap. Semuanya gelap. Dan menjadi gelap.

Senja kali ini aku trelah membuka mata, membuka telinga, membuka perasaan untuk dapat menerima kenyataan. Aku telah lama tertidur. Sepanjang tidurku mimpi buruk selalu menerjang. Kemarau panjang pun ikut menghujam.

Beribu kalimat menyusup ketelinga. Rendi dan Lina akan menikah sebentar lagi. Dalam tidurku aku telah mempersiapkan jiwaku untuk semua ini.
Rendi, aku mencintaimu. Mungkin karena itu aku jadi tak sanggup melihat semua kenyataan. Satu dosa yang dapat aku maafkan Rendi, kau tak putuskan hubungan antara kita berdua.
Aku hanya dapat menyalamimu saat hari pernikahan. Senyum palsu dalam irisan hati yang tersayat bertebaran dalam kelam. Sadar. Aku harus sadar. Kau akan menjadi kenangan dalam benakku. Lukisan tinta emas yang kau torehkan dalam kehidupan akan aku tutup. Berharap suatu saat kau akkan bersilaturahmi denganku dalam batin yang berbeda.
“Kharisma cepat masuk…….,”teriak Ibu dari dalam rumah.
Semua pecah memoriku kembali ke zaman modern. Yang lalu biarlah berlalu. Mimpiku selama ini adalah mipi bersama Rio. Penggantimu Rendi.
“Kharisma…….”
“Iya bu…………”
…THE END…

sumber : http://statusgokil.com/cerita-pendek 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar